Sejumput Cerita dari Sekolah Madrasah NU yang bersahaja dan mengakar rumput

comfort will ruin your life 

 Bill Eckstrom
Madrasah Ibtidaiyah Nasyrul Ulum 1 Brakas

Perjalanan kami dimulai dengan perjalanan kereta api kelas ekonomi, eh lebih tepatnya kelas premium, Ambara Express jurusan Surabaya – Semarang. Kereta berangkat tepat jam 6 pagi lewat 10 menit dari stasiun pasar turi. Sialnya, kami dapat tempat duduk yang menghadap belakang kereta api. Jadilah, backward tracking journey selama perjalanan.

Buatku, perjalanan dengan kereta api adalah perjalanan paling nyaman dan paling dapat dinikmati dibanding moda transportasi lainya di dunia ini. Ndak ada gronjalan, ndak perlu takut ada turbulensi, dan tak perlu was-was dengan kondisi lalu lintas jalan.

Rumah Aristektur Joglo Jawa

Diantara semua itu, yang paling mengasikkan adalah melihat pemandangan sepanjang perjalanan dari balik jendela kereta api. Apalagi jika disertai hujan gerimis di kala hari sedang menunggu senja datang. Wih, syahdu banget rasanya. Menjadi penonton kehidupan, walaupun hanya beberapa jenak, memang selalu mengasyikkan. Pemandangan paling indah sepanjang jalur rel kereta api pantai utara adalah sawah ladang, dan arsitektur rumah joglo khas jawa yang eksistensinya semakin tergerus oleh mode baru jaman.

Kereta api Ambara Express, tiba di stasiun Ngrombo, Purwodadi, Jawa Tengah pukul 9 lebih 33 menit pagi, tepat sesuai jadwal tiba. Ini adalah stasiun kereta api terbesar di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Walaupun sebenarnya hanya stasiun kecil yang literally berada di tengah sawah. Di lantai dua stasiun ada ruang tunggu yang cukup nyaman dengan fasilitas angin semilir dan pemandangan sawah. Kebetulan waktu itu aku ada rapat online, sehingga kami istirahat sejenak di ruang tunggu lantai 2 stasiun Ngrombo ini.

Pemandangan dari Ruang Tunggu Stasiun Ngrombo

Dari stasiun Ngrombo, kami mencoba memesan taksi online. Tapi sayangnya, beberapa kali mencoba tak berhasil jua. Kami pun memutuskan berjalan ke jalan besar di depan stasiun. Rupanya ada angkot yang sedang menunggu kami di depan gerbang stasiun Ngrombo. Sebenarnya kami agak ragu untuk naik angkot, tetapi pak sopir rupanya berhasil meyakinkan kami bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Naik Angkot di Kota Purwodadi

Rasanya sudah lama sekali tidak naik angkot. Ada nuansa nostalgia saat menaikinya. Pak sopir dengan ramah menanyakan tujuan kami yang belum jelas mau turun dimana. Yang jelas kami hanya ingin mencari tempat makan yang nyaman di pusat kota Purwodadi. Di angkot kami bertemu dengan perempuan sepuh yang wajah, tutur kata dan senyumnya menebarkan aura keramahan, kebaikan dan very welcome kepada kami. Tak sadar, rupanya stanger hospitality yang otentik dan tulus seperti itu rasanya sudah lama sekali tak kutemui. Dan diam-diam, hati ini pun merindukanya. Belakangan, di tempat umum, stranger tentunya identik dengan mereka yang asyik dengan telepon genggamanya masing-masing.

Setelah brunch di pusat kuliner dekat simpang lima kota purwodadi dan sholat di masjid di sekitaran simpang lima, malamnya kami menginap di hotel Grand Master tidak jauh dari simpang lima. Konon, hotel paling bagus di Purwodadi. Yang paling aku suka dari hotel ini adalah, lokasinya yang di tengah sawah juga. Dari jendela kamar, aku bisa mengintip pak tani sedang bekerja, mencangkul sawahnya yang akan ditanami bawang merah.

**

Perjalanan berikutnya adalah perjalanan dengan mobil phanter dari Kota Purwodadi ke Dusun Brakas, Desa Terkesi, Kecamatan Klambu, Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Perjalanan ini kurang lebih sekitar 1 jam 30 menit. Banyak proyek pengecoran jalan di beberapa ruas jalan yang memberlakukan buka tutup, sehingga perjalanan kami menjadi agak lama. Hamparan sawah yang luas di sisi kiri kanan jalan mendominasi pemandangan sepanjang perjalanan.

MI Nasyrul Ulum 1

Setelah perjalanan cukup panjang tetapi menyenangkan, akhirnya, kami tiba juga di tujuan kami, Madrasah Ibtidaiyah Nasyrul Ulum 1. Madrasah setingkat sekolah dasar ini gedungnya cukup bersahaja. Tetapi meskipun tanpa AC ruangan kelasnya terasa adem dan nyaman, tidak pengap. Kami disambut dengan ramah oleh para kyai pemilik yayasan, pengawas madrasah tingkat kecamatan, ibu kepala sekolah, dan segenap dewan guru.

Tujuan kami sebenarnya ke sekolah ini adalah untuk mengadakan pelatihan pengenalan coding (baca: pemrograman) untuk anak-anak sekolah dasar. Kegiatan ini dalam rangka kegiatan pengabdian kepada masyarakat dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari kampus. Mengapa coding itu penting dikenalkan sejak dini? Konon, ini adalah skill paling penting di abad 21. Apapun profesinya, kedepan coding menjadi skill sangat penting untuk dikuasai. Dan coding bukan sekedar teknologi yang bisa dikuasai dengan mencoba memakainya semalam langsung bisa. Tetapi coding lebih ke pembentukan pola fikir, mindset, cara fikir untuk memecahkan masalah. Karenanya perlu waktu yang lama. Dan waktu yang tepat untuk membentuk pola fikir adalah sejak kanak-kanak.

Para Guru MI NU mengikuti pelatihan

Di kota besar, banyak orang tua yang sudah aware tentang pentingnya coding sebagai skill penting masa depan. Mereka rela merogoh kantong dalam-dalam untuk mengkursuskan anak-anak mereka. Bagaimana halnya dengan sekolah di pelosok dusun? mungkin mereka pun masih samar-samar pernah mendengar kata ini. Itulah sebabnya kami datang untuk mengenalkanya.

Pertama, kami mengenalkan coding ini untuk para guru-gurunya. Kami sangat antusias, dan guru-guru pun demikian. Tapi, ternyata tidak ada koneksi internet. Padahal, platform yang kami gunakan adalah platform online semuanya. Kami sempat merasa useless hari itu. mencoba sinyal internet semua operator tetapi tak satupun yang bersahabat. Refresh and refresh lagi.

Entah ada angin apa yang lewat, tetiba sinyal salah satu provider selular bisa terkoneksi dengan internet. Walau kembang kempis, putus nyambung sinyalnya kami berhasil mengenalkan tiga platform coding untuk anak-anak. Mereka adalah https://code.org/, https://scratch.mit.edu/, dan https://appinventor.mit.edu/. Argh, lega rasanya.

**

Usai pelatihan, kami menilik beberapa ruangan sekolah. Rupanya ada beberapa kelas yang belum ditembok, dindingnya masih dari kayu dengan kelengkapan sekolah ala kadarnya. Melihat ruangan kelas itu, ingatanku langsung tertuju pada MI Muhammadiyah di desa Gentong, seperti yang diceritakan dan difilmkan dari novel laskar pelangi karya mas Andrea Hirata.

Salah satu ruang kelas MI NU Brakas

Apa yang salah dengan dinding sekolah dari kayu sebenarnya? Bukankah sekarang di kota-kota besar dunia sedang trend green building architecture yang menggunakan sebagian besar bahan bangunanya dari kayu? masalahnya adalah ruang kelas ini cermin ketidakberdayaan untuk merenovasinya.

Kang zaki, sahabat saya yang juga guru di MI tersebut bercerita tentang cerita sedih sekolah-sekolah SD dan MI di dusun. Mereka hanya mengandalkan dana BOS/BOM dari pemerintah. Dan untuk bisa mendapatkan BOS/BOM mereka harus punya murid. Jadi, tantangan setiap tahunya adalah bagaimana mereka tetap mendapatkan murid baru agar sekolah tetap bisa berjalan. Sengit sekali katanya persaingan antar sekolah SD/MI sederajat di dusun Brakas.

Berbagai strategi dilakukan sekolah untuk menarik orang tua calon wali murid. SPP gratis, seragam gratis, hingga fasilitas antar jemput rumah-sekolah gratis. Jika tidak demikian mereka harus siap-siap menutup sekolahnya untuk selama-lamanya.

Bagaimana dengan nasib gurunya? Nasib guru juga tidak kalah memprihatinkan. Take home pay sebulan saja tak sampai 1 juta rupiah. Sebagian besar tidak bisa ikut sertifikasi karena ijazahnya tidak sesuai. Bukan lulusan PGSD atau PGMI. Padahal mereka adalah alumni pesantren yang tak diragukan lagi ilmu keagamaanya.

Kami jadi bertanya-tanya. Jadi sebenarnya yang mereka butuhkan bukan pelatihan coding for kids yang terlalu kemelipen (kata orang jawa, baca: terlalu ketinggian) buat mereka. Tetapi bantuan untuk merenovasi sekolah agar menjadi tempat belajar yang layak untuk anak-anak.

Haha, sayangnya kami juga tidak punya uang untuk membantu mereka. Yang kami punya sekedar sepercik pengetahuan yang belum jelas juga apa faidahnya jika kami tularkan kepada mereka. Jangan-jangan totally unfaedah sama sekali. Tetapi, kami yakin tidak akan pernah salah memiliki niat baik. Walaupun hasilnya belum tentu baik, setidaknya dalam jangka waktu pendek. In the long run? siapa tahu kehadiran kami saja bisa menjadi inspirasi kebaikan buat mereka di masa depan.

***

MI Nasyrul Ulum 2 Brakas

Lain ladang lain belalang, lain kota lain ceritanya. Di kota dan di desa beda ceritanya. Jika madrasah di desa kembang kempis untuk sekedar bertahan. Di kota, sekolah dasar dengan embel-embel islam dan nama yang kemarab justru menemui momentum terbaiknya.

Orang tua muslim dari strata ekonomi menengah atas, tak lagi tertarik menyekolahkan anaknya di SD Negeri. Seperti halnya tren memakai jilbab, sekolah-sekolah dasar berlabel islam pun laris manis di pasaran. Apakah ini pertanda keislaman orang Indonesia jauh lebih baik dibanding 30 an tahun yang lalu? Era sebelum 1998 ketika masih sedikit sekali perempuan muslim indonesia berjilbab. Atau sekedar bungkus yang isinya sama saja bahkan lebih buruk?

Yang menarik dari sekolah-sekolah islam di kota ini adalah biayanya yang fantastis. Uang masuknya puluhan juta, spp perbulanya pun jutaan. Gedungnya mewah, fasilitasnya lengkap. Kontras ceritanya dengan sekolah Islam di dusun Brakas. Yang jelas orang miskin kota tak akan berani menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah ini.

Aku jadi bertanya-tanya, jika demikian seterusnya. Apakah tidak akan terjadi segregrasi sosial yang sebegitu lebar jaraknya antara anak-anak desa dan kota ketika kelak mereka dewasa? Akankah masa depan yang baik hanya akan berpihak pada mereka yang memiliki fasilitas sekolah terbaik di kota? Bukankan sejatinya sekolah adalah tempat setiap anak yang lahir di dunia ini, apapun latar belakang ekonomi dan strata sosial orang tuanya, memiliki kesempatan yang sama baiknya untuk meraih masa depan terbaik mereka. Siapa sih yang sebelum lahir di dunia bisa memilih untuk dilahirkan di keluarga siapa?

Atau justru sebaliknya? Generasi hebat justru akan lahir dari sekolah-sekolah melarat di dusun-dusun kita. Mereka yang terbiasa berjibaku dengan segala renik permasalahan, tantangan, dan keterbatasan fasilitas hidup. Mereka justru akan menjelma menjadi problem solver yang hebat di masa depan. Mereka yang akan bertahan ketika masa depan kehidupan penuh ketidakpastian dan penuh tantangan?

Bukanya discomfort justru membuat kita bisa tumbuh? dan sebaliknya, comfort zone justru akn merusak hidup kita? Bagaimana kita bisa mengajarkan kesederhanaan kepada anak-anak kita yang terbiasa dimanjakan dengan berbagai fasilitas kemewahan? Bagaimana kita bisa mengajarkan kepada anak-anak kita tentang keikhlasan dan ketulusan, jika mereka tahu orang tua mereka membayar uang sebegitu banyaknya ke sekolah. Bagaimana kita bisa mengajarkan keuletan dalam bertahan hidup, jika yang mereka temui hanyalah kemudahan demi kemudahan.

Let’s see the day after tomorrow! Salam semangat buat teman-teman guru yang sedang berjuang di sekolah, di madrasah di pelosok dusun-dusun dengan segala cerita suka dukanya nya. Selamat berjuang! though, sometime life is such uneasy game to play! We love and proud of you!

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.